Home > Kolom

Catatan Cak AT: Ahlan, Kementerian Haji

Dari antrean 30 tahun lebih, korupsi dengan segala bentuknya, sampai terakhir skandal kuota yang kabarnya lebih panas dari bursa saham Wall Street.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Ahlan, Kementerian Haji. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Ahlan, Kementerian Haji. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Bayangkan, di negeri yang katanya mayoritas muslim terbesar dunia, urusan haji —ibadah rukun Islam kelima— sudah berkali-kali berubah wadah, dari direktorat, lalu badan, dan kini kementerian. Bedanya, kali ini lebih spesifik: Kementerian Haji dan Umrah.

Selama puluhan tahun, Kementerian (semula Departemen) Agama jadi tukang urus haji. Hasilnya? Jangan ditanya.

Dari antrean 30 tahun lebih, korupsi dengan segala bentuknya, sampai terakhir skandal kuota yang kabarnya lebih panas dari bursa saham Wall Street.

Baca juga: KAI Buka Lowongan Kerja untuk Jebolan SMA Hingga S1, Buruan Daftar!

Bahkan, Menteri Agama era Jokowi, Yaqut Cholil Qoumas, ikut disebut-sebut dalam pusaran dugaan korupsi kuota haji.

Orang lagi nunggu, apa dia akan jadi tersangka seperti rekanannya. Kalau kata orang kampung: "Hajinya belum mabrur, tapi duitnya sudah makmur."

Belum begitu lega kita menghela napas dengan kemunculan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Katanya untuk amanah, nyatanya dana haji malah diinvestasikan ke proyek-proyek pemerintah. Tak heran, jika ada yang khawatir investasi tak kembali.

Baca juga: Tingkatkan Cakupan Imunisasi Anak, UI Luncurkan Studi UNDERVAC-ID

Jamaah nunggu 20–30 tahun, dan uang mereka dipakai bangun jalan tol yang mungkin baru bisa dilalui cucu mereka. Napas belum lega, muncul lagi Badan Penyelenggara Haji (BPH), biar lebih keren. Jadi kini ada dua badan: satu ngurus duit, satu lagi ngurus teknis.

Kemarin DPR dengan kilat mengesahkan revisi Undang-Undang Haji, yang mengubah BPH jadi Kementerian Haji dan Umrah. Logika dasar pendiriannya barangkali sederhana: kalau Saudi Arabia punya Ministry of Hajj and Umrah, masa Indonesia kalah gengsi?

Nanti kalau ketemu di forum internasional, malu dong kalau pejabat kita masih pakai kartu nama "Badan". Saudi bisa bilang, “Kami kementerian, kamu cuma badan? Duduknya agak mundur ya.” Kini rakyat menyambut: Ahlan, selamat datang Kementerian Haji.

Lagi pula, Saudi sudah memberi lampu hijau untuk membangun Kampung Haji Indonesia di sekitar Masjidil Haram. Wah, keren. Dari kampung halaman ke kampung haji. Boleh jadi, sebentar lagi kita akan mendengar jargon: “Haji itu mudah, tinggal lewat Kampung Indonesia.”

Baca juga: Wujudkan Green Hospital, RSUI Kelola Pupuk Kompos

Kalau sudah jadi kementerian, tentu ada kursi menteri. Siapa yang akan duduk di situ? Inilah teka-teki politik paling seru, mirip undian arisan RT. Apakah syarat jadi Menteri Haji harus sudah berhaji 10 kali? Atau minimal pernah tidur di Mina tanpa AC?

Jangan-jangan syaratnya justru lihai mengelola travel umrah atau punya koneksi hotel bintang lima di Mekkah. Entahlah. Yang pasti, suka-suka Presiden Prabowo Subianto sajalah mau menunjuk siapa. Mungkin saja gabungan orang yang mewakili jabatan keummatan.

Yang jelas, kursi ini ibarat durian runtuh: legit, harum, sekaligus penuh duri. Jika menterinya salah urus, bisa jatuh ke lubang skandal yang sama. Kalau menterinya benar-benar ikhlas, maka sejarah mencatat: ada juga pejabat negeri ini yang serius mengurus umat, bukan fee.

Baca juga: Sakti, Buku Antologi Puisi 3 Bahasa Karya Sastri Bakry

Kalau mau kritis, sebetulnya problem haji kita bukan soal lembaga saja, tapi soal integritas dan tata kelola. Ganti nama, ganti badan, ganti kementerian —semua itu hanya kosmetik kalau yang duduk masih berpikir haji adalah komoditas.

Masalah haji begitu berat: antrean haji panjang, biaya haji mahal, dan dana haji sering jadi bancakan. Di titik ini, pertanyaan reflektif perlu diajukan: apakah kita ingin ibadah haji diperlakukan sebagai rukun Islam, atau sebagai rukun bisnis?

Kalau tujuannya benar-benar ibadah, mestinya jamaah dipermudah, bukan dijadikan sapi perah. Tapi ya begitulah, sapi perah memang lebih sering dianggap investasi daripada amanah.

Jangan lupa, kursi Menteri Haji bisa saja nanti jatuh ke tangan politisi yang sudah kehabisan portofolio, lalu menemukan “surga baru” di Mekah.

Baca juga: PT Pegadaian dan CSPS-CSGS SKSG UI Gelar FGD Indeks Kepemilikan Emas dan Prospek Bullion Service di Indonesia

Kita hanya bisa berharap beliau tidak menjadikan kementerian ini sebagai “Kementerian Pariwisata Religius”, lengkap dengan paket promo “Umrah Plus Wisata Belanja”.

Kalau sampai salah arah, bisa-bisa jamaah Indonesia bukan lagi dikenal sebagai “jamaah paling ramai di tanah suci”, tapi sebagai “jamaah paling sering kena skandal di tanah air”. Dan waktu itu tiba, mungkin kita perlu satu kementerian lagi: Kementerian Tobat Nasional. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 28/8/2025


× Image