Home > Kolom

Catatan Cak AT: Jual Chip, Setor Komisi

China pun curiga: jangan-jangan di balik rem itu ada GPS rahasia, ada mata-mata kecil yang bisa mengintip data TikTok atau rencana Huawei.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Jual Chip, Setor Komisi. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Jual Chip, Setor Komisi. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Perang dagang Amerika–China masuk babak baru, ibarat pasangan yang sama-sama curiga, tapi tetap rajin intip status WhatsApp.

Amerika takut China kebanyakan otot, China takut Amerika kebanyakan intrik. Dan di tengah drama ini, muncullah tokoh baru: si chip Nvidia H20 —otak buatan yang katanya “diperlambat” demi keamanan, tapi tetap saja bikin Beijing berkeringat dingin.

Bayangkan H20 ini seperti Ferrari yang dipasangi rem tangan permanen. Katanya supaya aman, biar tidak keblabasan. Tapi walau diperlambat geraknya, Ferrari tetap Ferrari.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: UU Kehutanan Gagal Memerdekakan Rakyat

China pun curiga: jangan-jangan di balik rem itu ada GPS rahasia, ada mata-mata kecil yang bisa mengintip data TikTok atau rencana Huawei.

Di sisi lain, Presiden Trump tampil bak makelar pasar loak. Ia bilang ke bos Nvidia, Jensen Huang: “Oke, kamu boleh jual ke China, tapi kasih aku potongan 15 persen.” Lengkap dengan gaya tawar: dari 20 persen turun jadi 15, mirip juragan kambing yang bilang, “Udah deh, buat kamu spesial, harga teman.”

Lahirlah kebijakan dagang model baru: bukan lagi embargo atau lisensi, melainkan “jual chip, setor komisi.”

Dilihat dari panggung komedi _stand-up_, perang dagang ini lebih mirip sinetron politik. Amerika pura-pura marah, padahal sudah menyiapkan kantong untuk menerima setoran.

Baca juga: Hari Kemerdekaan, Evenciio Apartemen Margonda Depok Kibarkan Bendera Merah Putih Tertinggi di Indonesia

Sementara China pura-pura tenang, padahal diam-diam memanggil ByteDance, Baidu, sampai Tencent: “Hei, jangan kebanyakan pakai chip bule. Kita punya Huawei, SMIC. Masa kalah sama barang impor?”

H20 sendiri pada dasarnya adalah chip kecerdasan buatan Nvidia yang dibatasi performanya khusus untuk pasar China setelah AS melarang ekspor chip AI kelas atas seperti A100 dan H100. Huruf H merujuk pada keluarga chip Hopper (penerus Ampere, seperti RTX 3090 atau A100), sedangkan angka 20 menandai versi yang diperlambat —seperti Ferrari dengan pembatas kecepatan agar tak bisa melaju di jalan tol militer.

Dibanding RTX 4090 yang lebjh ditujukan untuk dipakai kaum gamer, H20 jauh lebih fokus pada komputasi AI skala besar. Pesaingnya: AMD dengan seri MI300, dan China lewat Huawei Ascend atau SMIC —meski performanya masih tertinggal. Jadi, H20 adalah kompromi: cukup kuat untuk bisnis AI komersial, tapi dipreteli agar tak terlalu “berbahaya” di tangan Beijing.

Baca juga: Catatan Cak AT: Pajak Picu Rakyat Bergolak

Dari sisi harga, Nvidia H20 dibanderol sekitar US$12.000–15.000 per unit, atau sekitar Rp 200-an juta. Jauh lebih murah dibanding H100 “full power” yang dilepas US$25.000–30.000 (Rp 400-an juta), bahkan sempat dilelang lebih dari US$40.000. Maka H20 bisa dianggap versi “diskon semi-premium”: lebih terjangkau, tapi tetap selangit bagi banyak negara berkembang.

Chip ini jelas bukan untuk gamer rumahan. Ia lebih cocok untuk melatih model AI besar seperti chatbot, sistem rekomendasi, analisis bahasa, atau generative AI.

Ia disiapkan untuk enjalankan inferensi massal, melayani jutaan pengguna secara paralel. Ia dipakai untuk pemrosesan data raksasa: riset biomedis, prediksi keuangan, atau analisis video. Ia digunakan untuk komputasi awan (cloud computing).

Baca juga: Toyota Wildlander Siap Meluncur, Bersaing dengan Mitsubishi Destinator, Ini Spesifikasinya

Namun, karena teknologinya dipangkas khusus untuk pasar China, performanya tetap di bawah H100 atau generasi terbaru Blackwell B200. Analogi paling mudah: Ferrari dengan rem tangan permanen, tapi tetap lebih kencang dari mobil sport biasa.

Namun, pihak China menganggap pemangkasan itu sebagai pelecehan, meskipun itu diungkap dengan diksi formal seperti demi keamanan negara.

Lalu, apa dampaknya bagi kita di Asia Tenggara? Pertama, harga perangkat AI bisa melonjak karena chip jadi alat tawar-menawar politik. Laptop atau server AI yang kita beli bisa semahal cabe rawit menjelang Lebaran.

Kedua, kemandirian teknologi semakin sulit; kita hanya bisa memilih antara Ferrari Amerika yang diperlambat atau Daihatsu lokal yang dipacu mati-matian tapi masih ngos-ngosan.

Baca juga: Brand dan Penjual Lokal Setara Merek Global Unjuk Prestasi di Lazada Seller Partner Awards 2025

Ketiga, ada efek domino ke stabilitas global. Jika kebijakan dagang bisa dibarter dengan “komisi”, standar keamanan dunia pun bisa dinego semau Trump, yang berwatak pedagang.

Bayangkan kalau suatu hari rudal atau drone masuk kategori “boleh dijual asal ada potongan 15 persen.” Dunia bisa berubah jadi pasar malam, di mana segala hal —termasuk prinsip— ada harganya.

Di balik semua fakta ini, ada refleksi penting: perang chip bukan sekadar teknologi, tapi soal siapa yang mengendalikan masa depan otak buatan.

Amerika ingin AI dunia berbicara dengan “bahasa” mereka. Di sisi lain China tak mau menjadi budak pikiran digital buatan luar. Dan kita? Kalau hanya jadi pasar, kita akan terus digiring sebagai konsumen, bukan produsen.

Baca juga: Buku Ngebir Sebelum Sholat: 30 Kisah Rasa untuk Hari Kemerdekaan ke-80 RI

Artinya jelas: jika Asia Tenggara tak segera membangun industri chip sendiri, kita akan terus jadi korban efek riak. Kita membeli server mahal, membayar layanan AI impor, sibuk berdebat soal aplikasi lokal, sementara “otaknya” —chip— tetap dikendalikan dua negara yang bertengkar. Mereka sibuk mempersoalkan Ferrari dengan rem tangan, sementara kita di sini masih mencicil motor bebek lima tahun.

Walhasil, H20 hanyalah satu babak dalam drama panjang: teknologi dipakai sebagai senjata dagang, dagang dipakai sebagai senjata politik, politik dipakai sebagai senjata ego. Kita bisa saja tertawa melihat gaya tawar Trump atau paranoia Beijing, tapi jangan lupa: yang diperebutkan adalah siapa yang menulis “kitab digital” abad ke-21.

Dan kalau kita hanya jadi penonton, nama kita takkan tercatat di halaman mana pun. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 19/8/2025

× Image