Otniel Tasman Presentasikan Dark Solanum, Ketika Lengger Bertemu Kota dan Kegelapan

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK – Koreografer dan praktisi lengger asal Banyumas, Otniel Tasman, mempresentasikan karya terbarunya berjudul “Dark Solanum + (Beyond The Idea of Queerness)” di panggung GoetheHaus Jakarta, Jumat (08/08/2025) malam. Mengacu pada tari Lengger dari Banyumas, karya koreografi ini menempatkan tubuh sebagai arsip sekaligus orakel: ruang hidup tempat ambiguitas gender, ritual, dan gema lampau bertemu.
Ide untuk “Dark Solanum” sebagian dikembangkan selama residensi tiga bulan pada September hingga November 2024 di SAVVY Contemporary, Berlin, sebagai bagian dari program residensi REFLEKT yang diinisiasi oleh GoetheInstitut Asia Tenggara. “Dark Solanum” kemudian ditampilkan perdana di ARTJOG, Yogyakarta (27/6/2025).
“Melalui ‘Dark Solanum’, Otniel mengajak kita menyelami cara tubuh mengingat, melintasi batas-batas geografis dan spiritual. Karyanya menunjukkan bahwa ketika seniman diberi ruang untuk mendengarkan dan mengalami, yang lahir bukan hanya karya seni, tetapi juga cara pandang baru terhadap dunia yang terus berubah. Inilah tujuan dari program residensi kami: menciptakan ruang di mana pertemuan lintas budaya memicu refleksi kritis dan cara berpikir baru yang berani,” papar Kepala Regional Program Budaya di Goethe-Institut Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru Dr. Marguerite Rumpf, Sabtu (09/08/2025).
"Dark Solanum" adalah titik awal dari perjalanan proyek solo Otniel, di mana ia menggabungkan praktik Lengger dengan spirit queer darkness, bukan untuk membandingkan, tetapi untuk memperkuat fondasi praktiknya sebagai seorang praktisi Lengger dan koreografer. Otniel menjelaskan bahwa proyek ini merupakan sebuah proses investigasi artistik yang terus berkembang.
Dalam prosesnya, ia mempertanyakan ulang, mengkritisi, dan mendekonstruksi tubuhnya sendiri melalui pengalaman-pengalaman yang telah membentuknya baik di ranah spiritual, sensual, maupun politik.
“Dark Solanum menjadi medan eksperimentasi untuk mengekspresikan kekuatan tubuh dalam ambiguitas, kegelapan, dan keterhubungan antar kultur. Ia adalah kerja lintas batas: antara ritual dan rave, antara keheningan dan kebisingan, antara tubuh yang sakral dan tubuh yang liar,” kata Otniel.
Bagi Otniel, masa residensi di Berlin ini tak hanya ditujukan untuk produksi, melainkan juga sebagai ruang untuk hadir sepenuhnya, sebuah jeda yang memberi ruang baginya terhadap praktik mendengarkan: pada kota, pada sejarah yang tak tercatat, pada ritme yang asing.
Selama tiga bulan residensinya di Berlin, bulan pertama dijalani Otniel dengan banyak mendengar, melihat, dan mengalami. Ia membiarkan dirinya terbuka, menyerap atmosfer kota, dan mulai terhubung dengan seniman-seniman lokal.
Pertemuan dan percakapan yang terjadi selama periode ini memperluas jaringannya sekaligus memperkaya fokus riset yang ia bawa dari Indonesia: pencarian terhadap sejarah queer dan subkultur di Berlin. Pada bulan-bulan berikutnya, ia mulai menggali lebih dalam—bukan hanya soal sejarah, tetapi juga tentang tubuhnya sendiri sebagai seorang Lengger yang hidup sementara di Berlin.
Ia menelusuri jejak pertemuan antara Jerman Barat dan Timur, menyusuri kota-kota seperti Hamburg dan Leipzig, mengunjungi situs-situs Perang Dunia II, serta menghampiri makam filsuf Friedrich Nietzsche—sosok yang ia kagumi karena bukunya berjudul The Gay Science menjadi titik temu penting dalam pencariannya akan tubuh, kegelapan, dan eksistensi.
Di Berlin, Otniel menemukan konsep queer darkness, yang sebelumnya asing baginya, namun ternyata sangat berkaitan dengan proses eksplorasi Lengger yang ia jalani. Kehidupan malam, budaya tekno, dan tubuh-tubuh yang menari dalam ruang kebebasan dan kegelisahan memunculkan berbagai pertanyaan artistik baru.
Sepulangnya ke Indonesia, ia menyadari bahwa proses mendengar, menjelajah, dan meresapi selama di Berlin telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan artistik yang penting dan transformatif. Dari proses inilah lahir gagasan untuk karya “Dark Solanum”, yang awalnya berjudul “Hermaprodite”, sebagai bentuk refleksi dan penegasan tentang makna keambiguan tubuh dan ruang dalam praktik Lengger yang ia jalani. (***)