Home > Kolom

Catatan Cak AT: Mandirinya Energi Fosil?(1), Tanggapan atas tulisan Denny JA, "Make Pertamina Great Again"

Tapi mohon maaf, saya lebih suka mengunduh pertanyaan, seperti judul tulisan ini, dibanding mengunggah pujian.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mandirinya Energi Fosil? (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mandirinya Energi Fosil? (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kalau kawan Denny JA belum lama ini didapuk menjadi Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE, maka sungguh ini momentum yang layak disambut gegap gempita.

Kita semua, terutama para pemilik puisi-puisi esai, diagram optimisme, dan narasi-narasi kebangkitan berbumbu peradaban, patut optimis dengan energi kita.

Tapi mohon maaf, saya lebih suka mengunduh pertanyaan, seperti judul tulisan ini, dibanding mengunggah pujian.

Baca juga: Kongres Persatuan PWI 2025 Siap Digelar, Syarat Ketum dan DPT Ditetapkan, Ini Mekanismenya

Maka ketika membaca esai “Make Pertamina Great Again” yang Bung Denny JA unggah 25 Juli, saya mendadak ingin bertanya —pakai nada setengah bercanda, setengah bertanya sungguhan:

- Apakah yang dimaksud "kemandirian energi" itu cuma berarti mandiri dalam mengeduk minyak dari perut bumi sendiri, tapi tetap membakar masa depan dengan energi fosil?

Atau barangkali:

- Apakah bisa disebut “kemandirian” kalau fondasi energinya tetap dari sumur tua, bukan dari sinar baru seperti matahari, angin, banyu, dan panas bumi?

Dalam esai itu, kawan Denny menyulap nostalgia tentang kejayaan Pertamina era Ibnu Sutowo ke dalam visi revivalis: satu juta barel per hari! Fantastis. Kita seolah diajak naik mesin waktu —bukan ke masa depan, tapi ke masa lalu yang dilapisi irisan-irisan semangat baru.

Baca juga: Orang Tua di Depok Diajak Dukung Program Cek Kesehatan Gratis untuk Anak di Sekolah

Betul bahwa produksi migas kita pernah tembus 1,2 juta barel. Tapi jangan lupa, itu zaman ketika energi dunia memang masih dikuasai minyak mentah, dan pemanasan global belum jadi momok. Sekarang? Tahun 2025 ini, bahkan Shell, BP, dan TotalEnergies pun sedang migrasi ke energi terbarukan.

Maka pertanyaannya yang patut kita renungkan: Apakah Indonesia ingin kemandirian energi, atau ingin mandiri dalam menyusul ketertinggalan —dengan bahan bakar abad 20?

Tentu, ada logika di balik ambisi satu juta barel: _enhanced oil recovery_, teknologi baru, percepatan perizinan, kerja sama SKK Migas, dan seterusnya.

Baiklah, itu sudah pasti jadi bagian dari tugas BUMN PHE. Tapi kemandirian energi seharusnya bukan semata mandiri menggali dan mengolah.

Baca juga: UI dan PT KAI (Persero) Gelar Skrining Anemia dan Layanan Kesehatan untuk Masyarakat Baduy

Karena bagaimana pun, minyak dan gas adalah energi yang menyusut. Hari ini kita temukan ladang baru, besok dia habis. Energi fosil itu ibarat beras dalam karung: kita bisa hemat, bisa beli karung baru, tapi tetap akan habis juga.

Sedangkan energi surya, angin, dan panas bumi, ibarat matahari pagi —selalu datang besok, tak peduli geopolitik dan mafia migas.

Pasalnya, banyak negara lain sudah menyebarang jauh. Mari tengok Norwegia. Hampir seluruh listriknya dari hidro. Costa Rica? 98% dari energi terbarukan. Islandia? _Geothermal is king_.

Bahkan Tiongkok, negara penguasa batu bara, kini malah jadi produsen terbesar panel surya di dunia.

Baca juga: Catatan Cak AT: GPU Rakyat Telah Tiba

Lalu kita, bangsa maritim yang katanya surya-nya 12 jam sehari, angin-nya kencang di 17.000 pulau, dan panas buminya memuncak dari Sabang sampai Merauke —masih sibuk mempercepat izin sumur, baik yang muda maupun yang tua.

Dan, itu semua dibungkus dalam semangat "kemandirian energi". Bersama itu, kawan Denny menulis tentang festival budaya dalam CSR. Bagus, tentu saja. Tapi maaf, bumi tak bisa disejukkan dengan festival budaya saja. Kita butuh revolusi kebijakan energi, bukan sekadar narasi peradaban.

Tentu, saya tak bermaksud menertawakan. Saya ingin mengingatkan. Justru karena Bung Denny kini di dalam, saya berharap ia bisa mendorong ke arah energi masa depan. Bukan hanya menggali energi yang lama-lama bisa menggali lubang.

Karena kalau hanya mengejar 1 juta barel tanpa satu panel surya pun di halaman kilang —maka itu bukan "Make Pertamina Great Again," tapi "Make Pertamina Fossil Forever."

Baca juga: Resmi Sandang Most Driven EV di GIIAS 2025, AION UT Wujudkan Performa, Kemewahan, dan Pengendalian Terbaik di Kelasnya

Kemandirian energi sejati hanya bisa lahir jika negeri ini tak sekadar mandiri mengebor, tapi juga berdaulat dalam membangun masa depan energi bersih.

Kemandirian itu baru tulen jika ia tahan menghadapi badai geopolitik, tahan krisis iklim, dan tahan dari generasi yang kelak bertanya: "Kenapa dulu kita terus menggali, padahal matahari bersinar di atas kepala?"

Kritik ini bukan sinisme. Ini ajakan reflektif. Saya yakin, masih ada jalan. Saya percaya, orang seperti Denny JA, yang bisa menulis ratusan esai filsafat dan puisi esai, pasti bisa juga menulis ulang narasi Pertamina —dengan bab baru tentang transisi energi.

Kalau ingin benar-benar menjadikan Pertamina sebagai gerakan nasional, maka mari mulai dari gerakan ke arah energi berkelanjutan.

Karena gerakan yang hanya memutar sumur tua, cuma akan menghasilkan mimpi lama dengan seragam baru. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 5/8/2025

× Image