Momentum Rebranding Kang Dedi Mulyadi (KDM)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Saya kira inilah saatnya rebranding sosok Kang Dedi Mulyadi yang akrab dipanggil KDM. Momentum rombak total branding KDM.
Tragedi “Konten Nikahan” anak KDM menjadi titik balik evaluasi total tampilannya di ruang publik. Memang, orang boleh tak suka dengan gaya pencitraan KDM, tapi bagaimanapun juga, sosok ini banyak penggemarnya juga.
Terpilih dan dilantik menjadi Gubernur Jawa Barat (Jabar) periode 2025-2030. Pada pemilu 2024 lalu, pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan memperoleh suara terbanyak yaitu 14.130.192 suara atau 62,22 persen dari total suara sah. Melihat perolehan suaranya, tentu sosok ini tak bisa dianggap remeh.
Baca juga: Catatan Cak AT: Pesantren Digital
Saya akan coba telisik fenomena KDM ini dalam perspektif branding. Sosok KDM, dalam buku “Branding for Public Leader” karya Deddy Rahman, mengembangkan konsep 12 Archtype Personalities yang awalnya menjadi penelitian psikiater asal Swiss, Carl Jung.
Menurut Jung, setiap manusia memiliki sifat-sifat dasar yang melekat sejak ia dilahirkan, sifat-sifat dasar tersebut akan muncul dan dirasakan seiring proses mengenali diri sendiri.
Sementara, dalam brand archetype, setiap brand memiliki kharakter yang membuatnya terhubung dengan audience.
Di sini, KDM dikelompokkan sebagai “The Caregiver” (Pangasuh). Digambarkan bagaimana sosok ini secara kepribadian dicitrakan sebagai orang yang sangat peduli pada kesejahteraan orang lain.
Baca juga: Kata Maula dan Putri: Tak Ada Acara Makan Gratis, Hanya Bagikan Makanan yang Belum Keluar
Ingin melindungi, fokus pada kesejahteraan dan rasa empati yang jadi ciri khas paling menonjol. Sementara gaya kepimpinan berorientasi pada pelayanan dan pengabdian, memimpin dengan kepedulian dan kasih sayang. Itu sebabnya, bisa jadi penggantian sebuah RS di Jawa Barat menjadi RS “Welas Asih” karena faktor demikian.
Pengelompokkan ini tentu untuk membedakan dengan sosok yang lain .Misalnya tipe “The Ruler” (Penguasa) seperti Prabowo, Megawati atau Habieb Rizieq. “The Creator” (Pencipta) semacam Ridwan Kamil. “The Rebel” (Pemberontak) semacam Adian Napitulu, Puji Astuti.
“The Sage” (Sang Bijak) seperti Hidayat Nur Wahid. “The Magician” (Penyihir) seperti Anies Baswedan. “The Jester) (Sang Pengibur) seperti Cak Imin sampai kharakter “The Everyman” (Orang Biasa) seperti Ganjar Pranowo, Ahmad Syaiku atau Ahmad Heryawan.
Layaknya dalam branding yang menekankan perlunya “Positioning”. Begitulah KDM menempatkan dan memposisikan dirinya.
Apakah yang demikian itu orisinil? Tidak juga. Jokowi pernah melakukan hal serupa. Media sekelas Tempo pernah menurunkan judul berita di cover malah Mingguannya yang lumayan menggelitik “Habis Mulyono Terbitlah Mulyadi”.
Publik kemudian mengenalnya sebagai “Gubernur Konten”. Sebutan demikian, ditanggapi santai saja oleh KDM. Dirinya menanggapi hal ini dalam sebuah wawancara media. Dia tidak membantah sangat aktif memanfaatkan media sosial.
Namun, ia menegaskan aktivitas tersebut bukan semata untuk pencitraan pribadi. Menurutnya, media sosial adalah sarana strategis untuk menyampaikan langsung berbagai program dan kegiatan pemerintah kepada masyarakat. Benarkah demikian? Netizen punya penilaian masing-masing.
Hanya, saya kira, setelah tragedi “Konten Nikahan” anak KDM yang menewaskan warga dan polisi serta beberapa luka, menjadikan KDM bakal berhati-hati dalam bertindak dan membranding diri.
Baca juga: Warga Depok Serukan Hentikan Genosida di Palestina
Saya kira, harusnya memang begitu. KDM boleh-boleh saja melanjukan aksi-aksi ala “Gubernur Konten” yang sudah banyak melekat dalam pencitraan dirinya.
Kabar kurang menyenangkannya, sebenarnya banyak yang muak juga dengan aksi-aksi KDM ini. Penuh kontroversi, tidak mau mendengar kritikan dan selalu menganggap apa yang dilakukan benar semua.
Terkait tragedi di atas, beberapa pandangan menyebut KDM tak cukup diberikan semacam sanksi sosial, tapi harus diproses hukum agar kejadian-kejadian serupa tidak terulang lagi.
Baik yang dilakukan dirinya maupun pejabat dan keluarga pejabat lainnya. Ini ranah hukum. Biarlah berjalan sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
Baca juga: Polda Riau Kerahkan 658 Personel Gabungan untuk Tanggani Kebakaran Hutan dan Lahan di Rokan Hilir
Di sini, saya hanya ingin fokus bagaimana kemudian peristiwa ini menjadi semacam titik balik kesadaran dalam aktivitas branding yang dilakukan KDM.
Konon, dirinya punya tim sendiri dengan 7 videografer dan kerap memandang remeh media-media resmi yang ada baik cetak maupun online. Inilah saatnya evaluasi total.
Layaknya sebuah branding. Satu hal yang penting adalah membangun narasi. Menjadi diskusi kemudian, narasi semacam apa yang diperlukan agar yang hadir tak hanya sebatas viral dan gegap gempita kehebohan di media sosial?
Baca juga: PT Tirta Asasta Depok Gunakan Teknologi SCADA untuk Pantau Kualitas Air Secara Digital
Tapi, hal-hal substantif beragam arus kebijakan publik yang menyejahterakan warga secara keseluruhan, bukan hanya gimick-gimick personal. Saya kira, semuanya ini bisa dimulai dengan beberapa strategi berikut:
Pertama, strategi priming (Terkait dengan waktu penyampaian). Saya kira inilah saat yang tepat deklarasi KDM untuk lebih banyak “Mendengar” masyarakat.
Deklarasi yang perlu ditindaklanjuti dengan aksi-aksi sebelumnya yang lebih banyak sifatnya “Sosialisasi diri” digeser ke fokus mendengar masyarakat dan menindaklanjuti bukan dengan “solusi pribadi” tapi dengan “Solusi kebijakan publik” yang berdampak pada masyarakat secara umum bukan personal.
Hal ini masih sejalan dengan kharakter KDM untuk lebih menyelami kembali soal empati. Di mana dalam komunikasi empatik (empathic communication) yang ditekankan justru bukan lebih banyak “bicara” tapi lebih banyak “mendengar”.
Baca juga: Catatan Cak AT: Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Kata Dibungkam (5/5)
Kedua, strategi signing (mengolah bahasa yang digunakan). KDM dalam aktivitas keseharian, sering menggunakan bahasa daerahnya, bahasa Sunda, dalam tingkatan yang populer atau akrab (congah).
Penggunaan demikian, mampu menciptakan resonansi psikologis yang mendalam dengan masyarakatnya. Memang,masyarakat Sunda masih menjunjung tinggi undak usuk basa Sunda(tata krama berbahasa Sunda), hanya saja penggunaan bahasa ibu oleh pemimpin bisa menghilangkan sekat-sekat formalitas dan bisa membangun rasa kedekatan yang personal.
Terlepas dari semua ini, Saya kira, lagi-lagi secara substansi, yang diperlukan dalam konteks sebagai gubernur tentu bukan sebatas bahasa-bahasa personal, solusi-solusi personal, tapi bahasa-bahasa “Kebijakan publik” dan solusi-solusi “kebijakan publik”. Ini saya kira prioritasnya, bukan yang lain.
Ketiga, Strategi Framing (memilih fakta yang dikemukakan). Di level ini memang problematis. Kenapa? Sebagai “Gubernur Konten” sudah pasti tim yang direkrut sebagai “Tim Media” tidak bakal bisa menjalankan kerja-kerja jurnalistik.
Baca juga: Bripka Cecep Gugur Saat Amankan Resepsi Putra Gubernur Jabar, Pengabdian yang Berujung Duka
Kerja-kerja yang dilakukan adalah kerja-kerja “Kehumasan” dalam arti hanya memberitakan yang baik-baik saja kerja “Tuannya”.
Lelucon dalam dunia medianya, kerja humas itu “hadistnya” “Katakan yang baik atau diam”. Sementara, kerja-kerja jurnalistik “hadistnya” adalah “Katakan yang benar walau pahit”. Saya kira, hal ini menjadi bagus sebagai sebuah dinamika arus komunikasi.
Femomena yang terjadi, publik tidak terlalu bisa menahan gempuran “Konten” yang disemburkan oleh “Tim Humas” KDM. Nah, di sinilah sebenarnya jurnalisme alias media-media terutama di Jawa Barat (Baik televisi, radio, media cetak atau online) memainkan peran. Tak hanya menghadirkan fakta-fakta, tapi memberikan makna.
Singkat cerita, dari “Jurnalisme Fakta” ke “Jurnalisme Makna”. Ketika tim humas KDM menyodorkan fakta-fakta versi pemerintah, perlu diimbangi tak hanya sekadar fakta dari sisi lain. Tapi juga memberikan konteks dan makna atas berbagai peristiwa. Dengan demikian ada keseimbangan arus informasi, tak hanya sepihak dari “Tim Humas” KDM saja.
Baca juga: Pemerintah Gulirkan Beras SPHP untuk Atasi Harga di Atas HET
Memang, saya kira, media-media terutama di Jawa Barat, tak bakal berani menjadi media yang “Terlalu Galak” dan kontra secara frontal dengan KDM.
Tak masalah. Hanya, tetap perlu menghadirkan sikap kritis terhadap pemerintah (sekecil apapun), termasuk kebijakan-kebijakan yang dijalankan.
Dengan hadirkan “Jurnalisme Makna”, memberikan makna atas sebuah peristiwa, memberikan warna dengan penjelasan-penjelasan beragam kajian dan narasumber pemberitaan secara memadai, menjadikan rasionalitas arus informasi tetap terjaga.
Beginilah saya kira harapan ideal arus informasi yang perlu dikembangkan. Semata-mata untuk kemajuan Jawa Barat, bukan yang lain. (***)
Penulis: Yons Achmad/Pengamat Komunikasi. Pendiri Brandstory.id