Home > Kolom

Catatan Cak AT: 'Dawir ' Oknum Habib

Di Indonesia, dan hanya di Indonesia, gelar habib sering diperlakukan seperti kartu akses surga dengan sistem pay-as-you-go.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: 'Dawir' Oknum Habib. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: 'Dawir' Oknum Habib. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di tengah era digital yang konon katanya penuh kecerdasan buatan, ternyata ada satu hal yang masih sangat manual: cara sebagian oknum memutar ekonomi melalui metode spiritual bertema nasab. Fenomenanya disebut dawir.

Jangan salah paham, ini bukan istilah syariah canggih dalam kitab fikih. Tak ada. Tapi, ini istilah rakyat untuk menggambarkan “putar-putar duit umat” demi janji yang —kalau kita jujur— lebih cocok disebut “tiket VIP ke surga” versi grosiran.

Di Indonesia, dan hanya di Indonesia, gelar habib sering diperlakukan seperti kartu akses surga dengan sistem pay-as-you-go.

Beberapa oknum yang mengklaim keturunan Nabi Muhammad Saw —yang kita sebut dengan penuh kelembutan sebagai habib— memperkenalkan metode pemasaran spiritual unik.

Baca juga: Layakkah Tom Lembong dan Hasto Dapat Abolisi dan Amnesti?

Bukan hanya unik, tapi mungkin juga sangat efektif: “Donasi sekian, dapat syafaat sekian.” Promo ini tidak jauh beda dengan _cashback_ Tokopedia atau Shoope, hanya saja yang ini menjanjikan diskon siksa kubur. Tak ayal, banyak orang yang kepincut.

Menurut pengakuan beberapa korban (bukan pelanggan), mereka diminta untuk berdonasi dalam jumlah tertentu demi “menjaga keberkahan keluarga.” Atau kadang pakai bahasa yang lebih halus, “biar anaknya gak susah dapat jodoh.”

Ada juga yang disodori metode “infak istimewa” —uang yang konon akan mempercepat jalan ke surga, setelah diskon tadi, diskon siksa kubur. Iya, karena jalan tol dunia sudah macet, mungkin surga perlu jalan khusus bagi yang royal.

Masalahnya, menurut kajian teologis dan hadis sahih, syafaat tidak bisa dibeli, tidak ada sistem COD antara langit dan bumi. Syafaat diberikan Allah melalui Rasulullah kepada umat yang layak, bukan yang tajir. Tapi ya, di dunia marketing spiritual, yang penting bukan substansi, tapi narasi.

Baca juga: Sidak Bersama Gubernur Jatim dan Pertamina Pantau Kelancaran Distribusi BBM di Jember

Dalam sinetron rekaan, Dawir: The Untold Story, ada satu karakter protagonis: Abah Setu. Tokoh dari Sukabumi, Jawa Barat, ini terkenal karena satu hal: dia sekarang sudah berani bilang “tidak” ke mereka yang dulu datang kepadanya bawa proposal nasab dan invoice syafaat.

Dalam beberapa kesaksiannya, Abah Setu mengaku rumahnya pernah didatangi rombongan habib instan yang mampir bukan untuk berdakwah, tapi untuk tagihan langit. Bahkan, ia mengaku duitnya ludes sampai satu miliar.

Mereka meminta dana besar, katanya untuk “menjaga marwah ahlul bait.” Tapi anehnya, ini masih pengakuan Abah Setu yang beredar di medsos, setelah itu mereka justru belanja jam tangan Swiss dan mobil mewah. Entah, mungkin marwah sekarang butuh suspensi empuk.

Lebih konyol, ada yang percaya dawir lain yang satu ini. Kalau Anda pikir tipu-tipu investasi bodong hanya terjadi di crypto dan MLM, pikir lagi. Dalam dunia dawir, ada level baru: mengubah daun jadi mobil. Ini bukan sihir, ini strategi branding spiritual model abrakadabra.

Baca juga: Dinkes Depok Jelaskan Konsep Kampung Kota untuk Implementasi KTR

Beberapa oknum menjual “daun berkah” yang katanya bisa berubah jadi kekayaan. Sayangnya, daun itu memang berubah, tapi jadi bukti polisi di laporan penipuan. Sayangnya lagi, masih juga ada orang yang percaya tipu-tipu yang sudah ada contohnya sejak zaman bahelau.

Menurut catatan PPATK, selama 2019–2023, terdapat transaksi mencurigakan berkedok donasi agama yang nilainya mencapai lebih dari 200 miliar rupiah, sebagian besar melibatkan entitas nonformal tanpa akuntabilitas.

Yang tragis: para korban bukan orang bodoh. Mereka adalah orang-orang biasa yang sedang butuh harapan, lalu diberi narasi surgawi dalam bungkus nasab. Dan ketika akhirnya sadar, sudah terlambat: uang hilang, iman pun goyah.

Menurut riset LIPI tentang Dinamika Keagamaan (2021), semakin longgar kontrol terhadap klaim keturunan Nabi, makin besar kemungkinan penyimpangan ekonomi berkedok agama terjadi. Dan di negeri ini memangnya ada kontrol itu?

Baca juga: Catatan Cak AT: Ghirah yang Kian Gersang

Hal ini diperparah oleh minimnya literasi keagamaan masyarakat, yang lebih suka percaya pada keturunan daripada keterangan. Padahal, kita dulu diajari: yang membedakan manusia di sisi Tuhan adalah takwa, bukan keturunan.

Tapi hari ini, "keturunan siapa?" lebih penting daripada "perilaku bagaimana?" Dalam diskursus ini, identitas keagamaan jadi gamang. Anak muda bingung: apakah berislam itu soal amal dan adab, atau soal ikut barisan keluarga tertentu?

Jurnal Studia Islamika (UIN Jakarta, 2020) mencatat meningkatnya kepercayaan terhadap tokoh berbasis nasab tanpa memverifikasi keilmuan atau kredibilitasnya. Ini bukan lagi Islam rahmatan lil alamin, tapi Islam ala royal family.

Dan inilah titik bahayanya: ketika agama digantikan oleh _brand_ spiritual yang tak berbasis ilmu, maka lahirlah generasi yang lebih takut tidak dapat syafaat habib daripada tidak salat subuh. Sebuah kemusyrikan di era Indonesia maju.

Baca juga: KLHK Verifikasi Program Kampung Lingkungan Jatijajar Depok

Tentu kita tidak ingin semua habib digeneralisasi. Hanya oknum. Sekali lagi, oknum. Banyak habib yang lurus, tulus, dan sungguh-sungguh berdakwah dengan adab dan ilmu. Yang kita kritik adalah oknum yang menjadikan nasab sebagai alat _fundraising_ permanen.

Solusinya bukan cuma lewat ceramah atau unggahan Instagram. Kita butuh pencerahan struktural:

- Pendidikan literasi agama berbasis kritis, bukan kultus individu.

- Verifikasi nasab mungkin oleh lembaga independen berbasis sejarah dan genealogi ilmiah.

- Pengawasan ketat terhadap aktivitas ekonomi keagamaan informal.

- Penguatan peran ulama yang independen secara finansial.

Baca juga: Tembus Fortune Global 500, PLN Terus Perkuat Daya Saing di Kancah Dunia

Karena kalau tidak, praktik dawir ini akan terus berputar, seperti kipas angin di masjid: suaranya kencang dan berisik, anginnya ke sana kemari, tapi tidak pernah menyentuh inti persoalan. Praktik ini akan terus terjadi jika kita biarkan.

Fenomena dawir ini bukan sekadar problem ekonomi atau sosial. Ia adalah distorsi epistemik dalam memahami agama. Ia mengganti makna ibadah dengan transaksi, mengganti ilmu dengan silsilah, dan mengganti ketakwaan dengan networking spiritual.

Sudah waktunya kita sadar: surga itu bukan dibeli, tapi diperjuangkan dengan amal-amal ibadah demi Allah semata, bukan demi nama tertentu lainnya. Kalau bisa dibeli, tentu Abu Lahab sudah booking duluan, dan para koruptor bisa melenggang dengan aman.

Mari kembali ke jalan yang lurus, bukan jalan yang melingkar-lingkar seperti dawir. Karena dalam Islam, jalan ke surga itu lurus —mustaqim— bukan spiral ekonomi oknum. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 1/8/2025

× Image