Catatan Cak AT: Api Gontor

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Malam kedua di Bumi Perkemahan Cibubur itu terasa berbeda. Lampu panggung berpendar, layar LCD raksasa masih berdiri tegak menyaingi pepohonan, dan ribuan santri duduk rapi di lapangan utama.
Dari luar pagar besi, penonton umum tetap bisa menyaksikan kilau panggung musik Iwan Fals meski hanya dari kejauhan.
Tidak ada kericuhan, tidak ada botol melayang, bahkan tidak ada jingkrak-jingkrakan yang biasanya menjadi ikon konser musik tanah air.
Semua terkendali. Di tangan para santri Gontor, pentas musik di acara World Muslim Scout Jamboree (WMSJ) 2025 yang digelar 9–14 September di Bumi Perkemahan Cibubur itu pun tunduk pada disiplin dan akhlak.
Baca juga: Cair, KJP Plus Tahap II jadi Investasi Utama Jakarta Menuju Kota Global
Penelitian antropologi pendidikan mencatat bahwa pola disiplin di pesantren Gontor telah menjadi _cultural capital_ yang membentuk perilaku kolektif santri.
Menurut M. Dawam Rahardjo (1995), Gontor menempatkan disiplin sebagai "sistem nilai internal" yang lebih kuat dari aturan formal negara.
Maka tak heran, bahkan konser musik pun bisa berjalan tertib tanpa aparat keamanan, meski yang tampil di panggung, seorang legenda. Yang unik, kali ini bukan panitia yang mengundang, melainkan ia sendiri yang meminta hadir. Iwan Fals —sosok yang selama puluhan tahun dikenal sebagai penyambung lidah rakyat— merasa perlu menyambung lidahnya dengan santri.
Sungguh jarang seorang musisi nasional rela menukar posisi. Bukan diminta tampil, melainkan ia meminta sendiri untuk ikut serta dalam hajatan seabad Gontor yang fenomenal. Ada magnet spiritual yang lebih kuat dari sekadar undangan formal.
Baca juga: Diskarpus Depok akan Akuisisi Arsip Buku Induk Sekolah 18 SDN yang Marger
Namun, di balik megahnya panggung itu ada peran besar jejaring alumni. Iwan memang sudah lama dekat dengan Gontor. Pada 2008, ia diundang KH Abdullah Syukri Zarkasyi datang ke pondok. Seperti biasa, pak kyai ini dengan mobil Kijang Krista menyopirinya keliling kampus, memperlihatkan dinamika pendidikan dengan sederhana namun membekas.
Kenangan itu tertanam di diri Iwan, sehingga WMSJ menjadi momentum baginya menciptakan lagu khusus untuk seratus tahun Gontor. Emosi itu terus terjaga berkat kedekatannya dengan sosok-sosok alumni, yang lama bergelut di dunia event organizer dan kerap berada di balik layar panggungnya.
Kedekatan personal itulah yang menjembatani legenda musik dengan pesantren, menjadikan konser ini terasa lebih intim dan tulus. Begitu petikan gitarnya terdengar, udara lapangan mendadak berubah. Tepuk tangan membahana.
Terlebih ketika ia menyanyikan lagu baru yang diciptakan khusus untuk peringatan seratus tahun Gontor. Ia seolah tidak ingin ketinggalan menuliskan sejarah, seperti yang pernah dilakukannya untuk berbagai peristiwa besar.
Baca juga: UI Wisuda Ribuan Mahasiswa, Satlantas Polres Depok Imbau Pengguna Jalan Hindari Jalan Akses UI
Setelah gubahan lagu khusus itu, Iwan memilih lagu _Ibu_, senyawa dengan bunyi mars _Oh Pondokku_. Jeritannya mengubah suasana lapangan menjadi lautan kerinduan. Ribuan santri yang biasanya tegar, larut dalam bait-bait syair yang begitu dekat dengan hati mereka.
Ada yang bernyanyi lirih, ada yang berkoor lantang, dan tak sedikit yang menunduk sambil mengusap air mata. Jarak ribuan kilometer dari rumah, dari pelukan ibu, seakan dipadatkan dalam satu malam penuh haru.
Lagu _Ibu_ menyentuh akar terdalam pengorbanan: betapa orang tua, dengan nanah, darah, dan air mata, menanggung biaya dan doa agar anak-anak mereka bisa menuntut ilmu di pondok. Di tengah disiplin dan keikhlasan hidup santri, malam itu mereka kembali diingatkan pada cinta paling awal yang tak lekang —cinta seorang ibu.
Sementara dalam lagu khusus tentang Gontor, suara Iwan membuka sejarah dengan bait yang seakan membangkitkan kembali detik kelahiran pondok: _"Di Ponorogo yang sunyi, Trimurti nyalakan api..."_ Tidak ada gegap gempita, hanya niat suci yang melahirkan lembaga besar seratus tahun lalu.
Baca juga: Catatan Cak AT: Lihat Saja Nanti
Sejumlah sejarawan pendidikan Islam menempatkan Trimurti Gontor —K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi— sejajar dengan para tokoh pendiri lembaga pendidikan modern lain di dunia Islam.
Azyumardi Azra (2002) menulis, pada periode 1920-an banyak pesantren masih tradisional, sementara Gontor memilih jalur modernisasi kurikulum dan manajemen. Inilah yang membuatnya berbeda: lahir dari "sunyi desa" tetapi membawa visi global.
Malam itu, Iwan mengingatkan bahwa api yang dinyalakan Trimurti terasa masih menyala, menyulut air mata banyak alumni. Iwan menulis bait-bait itu bukan sekadar puisi, melainkan catatan perjalanan.
Ketika ia menyebut _"santri datang dengan harapan membawa mimpi negeri,"_ ribuan wajah muda di hadapan panggung seolah menjelma menjadi bukti nyata. Mereka bukan sekadar murid pesantren; mereka mimpi yang bergerak, benih yang siap tumbuh menjadi hutan peradaban.
Baca juga: Wayang Golek Dadan Sunarya, Dari Hiburan Jadi Tradisi Syukur di Desa Sukamenak Majalengka
Lagu itu lalu menggambarkan kehidupan sehari-hari pesantren: _"Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan kitab menyatu tanpa batas. Disiplin jadi darah, ikhlas jadi nafas."_ Betapa kontras dengan dunia pendidikan di luar sana yang masih sibuk berebut ranking dan akreditasi.
Data Kementerian Pendidikan 2023 mencatat bahwa lebih dari 70% sekolah menengah masih terkendala akses bahasa asing. Sebaliknya, Gontor sejak dekade 1930-an telah menerapkan sistem bilingual (Arab–Inggris) yang konsisten. W. Hefner (2009) menyebutnya "model pendidikan kosmopolitan pesantren" yang unik di Asia Tenggara.
Dengan sederhana, Gontor menanamkan nilai globalisasi jauh sebelum istilah itu populer: santri diajak berbicara dengan bahasa dunia, tetapi tetap bernapas dengan ikhlas yang tak bisa diukur indeks.
Tepuk tangan mengalun panjang ketika bait tentang alumni dinyanyikan. _"Anak kampung jadi pemimpin, alumni pergi jauh..."_ Syair itu terdengar seperti katalog prestasi alumni: ada yang menjadi guru desa, diplomat, penyeru dakwah, akademisi, hingga pejabat.
Baca juga: Pekerja RBR di Depok Diajak Ikut Asuransi TK Gratis: Pedagang, Buruh Hingga Wartawan Bisa Dicover
Nama-nama mereka tak terhitung, tapi semangatnya satu: membawa pancajiwa Darussalam ke mana pun mereka tumbuh. Pendidikan bukan sekadar memindahkan ilmu dari buku ke kepala, tetapi membentuk jiwa yang siap mengabdi di panggung dunia.
Survei Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) tahun 2021 menunjukkan alumni Gontor tersebar di lebih dari 90 negara, berkiprah di bidang pendidikan, diplomasi, organisasi internasional, dan bisnis berbasis etika Islam.
Beberapa bahkan menjadi duta besar, anggota parlemen, pejabat publik, hingga rektor perguruan tinggi. Syair Iwan tentang "anak kampung jadi pemimpin" pun menemukan pembuktiannya.
Saat sampai pada bait _"rumah ilmu, rumah jiwa yang merdeka, bukan milik pribadi, tapi wakaf untuk umat semua,"_ suasana semakin hening. Para alumni tahu betul, itulah keunikan Gontor: ia bukan milik keluarga, bukan perusahaan, tetapi wakaf untuk umat.
Baca juga: Catatan Cak AT: Ironi Sri Mulyani
Dalam dunia pendidikan yang sering dikalkulasi sebagai bisnis, Gontor tampil sebagai anomali. Konsep wakafnya bahkan menarik perhatian banyak peneliti internasional.
Monzer Kahf (2019) menegaskan bahwa wakaf pendidikan adalah mekanisme keberlanjutan finansial yang mencegah privatisasi lembaga. Gontor menjadi bukti nyata bahwa aset wakaf bisa dikelola modern dan transparan tanpa kehilangan nilai spiritual.
Dan ketika lirik terakhir berbunyi, _"Trimurti tersenyum di langit, melihat amanah terjaga, api itu tak pernah padam, akan terus menyala,"_ panggung berubah menjadi ruang spiritual. Trimurti memang telah tiada, tetapi amanah mereka tetap hidup. Seratus tahun hanyalah angka; api itu dirawat agar terus menyala, bahkan di tengah zaman yang keras.
Di media sosial, alumni menulis: "Menangis jiwa ini, terharu mendengar langsung Bang Iwan Fals." Kesaksian itu mencerminkan rasa kolektif: konser malam itu bukan hiburan, melainkan ziarah batin. Iwan tidak sekadar bernyanyi, ia menjadi penyambung syukur sebuah pesantren yang bertahan dalam gempuran zaman.
Baca juga: KPK Telusuri 'Cara Main' Pejabat Kemenag dalam Kasus Korupsi Kuota Haji
Dalam wawancara setelah acara, Iwan mengaku kagum dengan kesederhanaan pesantren —silaturahmi, rasa syukur, kasih sayang. Ia bahkan merasa kecil di hadapan santri yang belajar kitab, bahasa Arab, dan bahasa Inggris sekaligus. Dari seorang musisi yang terbiasa memberi suara, malam itu ia justru lebih banyak menerima. Ia merasa menjadi murid, bukan guru.
Konser itu akhirnya meneguhkan satu hal: musik bisa menjadi kuliah, panggung bisa menjadi mimbar, dan seorang legenda bisa turun dari singgasana untuk belajar dari santri. Pada malam kedua Perkemahan Dunia 100 Tahun Gontor itu, Iwan Fals bukan lagi sekadar penyanyi jalanan. Ia menjelma penyanyi peradaban, yang suaranya berpadu doa ribuan santri, lebih lantang dari speaker mana pun.
Dari perspektif sosiologi musik, peristiwa ini bisa disebut "ritual komunal modern." Tia DeNora (2000) menyebut musik sebagai perangkat pengatur emosi sosial. Malam itu, panggung musik bertransformasi menjadi ruang spiritual. Gontor, dengan akhlak santri dan syair Iwan Fals, berhasil mengubah konser menjadi kuliah umum peradaban. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 12/9/2025