Waspada Gangguan Pendengaran, Dokter FKUI Bagikan Tips Aman Gunakan Handset

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Gaya hidup modern masyarakat saat ini sangat akrab dengan penggunaan Personal Listening Device (PLD) atau alat dengar pribadi, seperti headset dan earbuds.
Sayangnya, kesadaran masyarakat akan risiko gangguan pendengaran akibat penggunaan alat ini masih rendah.
Paparan suara keras dari perangkat yang digunakan berjam-jam setiap hari dapat menjadi ancaman bagi siapa pun yang terbiasa menikmati audio dengan volume tinggi.
Data dari badan kesehatan dunia WHO mencatat sekitar 1,1 miliar remaja di seluruh dunia berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat paparan bising.
Baca juga: Catatan Cak AT: Seratus Tahun Mahathir
Penelitian terbaru pada 2023 bahkan menunjukkan risiko gangguan pendengaran akibat penggunaan headset mencapai 23,8%, atau setara dengan 1 dari 4 pengguna.
Staf pengajar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) dari Departemen Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala Leher (THT-KL), Dr. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL, menjelaskan bahwa tuli akibat bising kini menjadi ancaman baru di era modern.
'Kita justru menikmati bising setiap hari, seperti konser, tempat musik, atau tempat bermain yang memiliki pengeras suara bervolume tinggi,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Sayangi Pendengaranmu: Tips Aman Pakai Headset Sehari-hari” yang diadakan FKUI, pada Rabu, 12 Juni 2025.
Baca juga: Miss DKI Jakarta Menangkan Miss Royale Sekaligus Miss Indonesia 2025
Menurutnya, tuli akibat bising kini tidak hanya mengancam para pekerja pabrik atau sopir Bajaj seperti di masa lalu, tetapi juga masyarakat luas melalui perangkat pribadi seperti headset yang kerap diabaikan.
Orang yang mengalami cedera bising memiliki gejala awal telinga berdenging dan terasa tertutup seperti kemeng. Gejala ini sering kali dianggap sepele karena dapat hilang dalam waktu 24 jam.
"Namun, justru karena sering diabaikan dan berulang, lama-kelamaan bisa menimbulkan gangguan permanen,” kata dr. Fikri.
Selain menimbulkan gangguan telinga, cedera bising kronik juga dapat berdampak besar terhadap kualitas hidup, mulai dari kesulitan berkomunikasi di lingkungan ramai, gangguan konsentrasi, hingga gangguan sosial dan percepatan penuaan pada jalur pendengaran.
Baca juga: AION UT, Mobil Pintar Berbasis AI untuk Generasi Urban Indonesia
Menurut dr. Fikri, PLD yang beredar saat ini memiliki banyak jenis, seperti earbuds, headphone over-ear (dengan atau tanpa noise cancelling), hingga bone conduction headset.
Jenis over-eardengan fitur Active Noise Cancelling (ANC) dianggap menjadi pilihan yang relatif lebih aman karena mampu meredam kebisingan tanpa harus menaikkan volume secara berlebihan.
Akan tetapi, PLD jenis ini tidak disarankan digunakan sambil berjalan atau berlari karena mengurangi kewaspadaan terhadap lingkungan.
Tips Aman Pakai Headset Sehari-hari
Sebagai pedoman aman, dr. Fikri menganjurkan penggunaan PLD dengan volume maksimal 60% selama tidak lebih dari 60 menit per hari.
Selain itu, penting untuk beristirahat setiap satu jam selama 5 menit, menjaga kebersihan earbuds, serta memanfaatkan fitur volume warning yang kini tersedia pada banyak gawai.
"Gunakan PLD dengan teknologi noise cancelling agar tidak perlu menaikkan volume terlalu tinggi. Batasi volume di bawah 80 desibel,” ujarnya.
Ia juga menyarankan kepada pengguna PLD agar memeriksakan diri ke dokter spesialis THT-KL jika mengalami dua dari tiga kondisi, yakni penggunaan lebih dari 4 jam per hari, volume di atas 80%, atau munculnya nyeri atau berdenging setelah pemakaian.
Baca juga: Catatan Cak AT: Siwak Sikat Bau Mulut
Tata laksana penanganan gangguan pendengaran akibat bising sesuai tingkat keparahannya. Untuk kasus cedera yang bersifat akut, seperti telinga berdenging khususnya jika terjadi dalam kurun waktu kurang dari 12 minggu, pengobatan medis masih memungkinkan.
Sementara, untuk kondisi kronis tanpa gangguan psikologis, terapi transcranial magnetic stimulation yang melibatkan dokter neurologi bisa menjadi pilihan.
"Kalau sudah menetap dan disertai keluhan psikologis seperti stres atau depresi, maka penanganan harus melibatkan psikolog atau psikiater untuk mendampingi proses pemulihan,” pungkas dr. Fikri. (***)