Home > Nasional

Senator Dukung Manggarai Bershalawat Lewat Lima Program Lanjutan

Festival ini diharapkan menciptakan kebanggaan bersama, mengalihkan rivalitas menjadi kompetisi positif.
Tawuran antarwarga yang kerap terjadi di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Tawuran antarwarga yang kerap terjadi di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK - Gagasan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menggelar “Manggarai Bershalawat” sebagai salah satu strategi meredam tawuran antarwarga yang terus berulang mendapat dukungan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris.

Melawan persoalan kompleks semacam tawuran memerlukan pendekatan yang tidak hanya represif, tetapi juga humanis, partisipatif, dan kultural. Gagasan “Manggarai Bershalawat” patut diapresiasi sebagai terobosan solutif yang menyentuh sisi terdalam kemanusiaan dan spiritualitas warga.

“Saya mendukung ‘Manggarai Bershalawat’ gagasan Gubernur Pramono sebagai salah satu terobosan solutif meredam tawuran antarwarga yang terus berulang. Program ini bukan hanya kegiatan keagamaan, melainkan platform strategis untuk mempertemukan kelompok-kelompok yang kerap bertikai dalam suasana damai dan religius,” ujar Fahira Idris di Jakarta (16/05/2025).

“Saya berharap ‘Manggarai Bershalawat’ menjawab kebutuhan warga akan ruang partisipasi yang setara, dan membuka kesempatan untuk dialog horizontal antarwarga yang sebelumnya berseteru,” sambung Fahira Idris.

Senator Jakarta ini mengungkapkan, nantinya “Manggarai Bershalawat” perlu dilengkapi dengan program dan kegiatan lanjutan yang bersifat kolaboratif dan inklusif.

Beberapa inisiatif program antara lain, pertama, Festival Damai Manggarai yang bisa dijadikan event tahunan untuk mempertemukan RW-RW melalui lomba seni, olahraga, musik, dan kuliner. Kegiatan dapat meliputi lomba seni mural bertema perdamaian, turnamen futsal lintas RW, lomba hadrah dan musik Islami antarremaja masjid, serta bazar kuliner lokal dari kelompok ibu-ibu PKK.

Hadiah bagi pemenang tidak hanya berupa trofi, tetapi juga pelatihan keterampilan atau modal usaha kecil. Festival ini diharapkan menciptakan kebanggaan bersama, mengalihkan rivalitas menjadi kompetisi positif.

Kedua, komunitas wirausaha muda RW bersaudara. Program ini mewadahi anak muda dari RW atau kampung yang sering berseteru untuk bergabung dalam satu komunitas wirausaha.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memfasilitasi pelatihan kewirausahaan dasar seperti pembuatan sabun organik, kopi kemasan, atau produk kreatif berbasis digital. Kelompok lintas RW ini kemudian diberi akses modal mikro dari dana CSR atau koperasi pemuda yang dibentuk secara kolektif.

“Jadi inisiatifnya adalah membentuk kelompok wirausaha lintas kampung yang saling terikat secara ekonomi. Ketergantungan ekonomi menciptakan ikatan sosial yang lebih kuat daripada sekadar perjanjian damai. Nama dan brand produk, nantinya bisa mencerminkan semangat perdamaian, misalnya Kopi Harmoni,” kata Fahira Idris.

Ketiga, “Madrasah Perdamaian” yaitu kelas informal yang digagas bersama majelis taklim, tokoh agama, dan para pemuda. Metode pembelajaran bisa bervariasi, mulai dari ceramah, nonton bareng film inspiratif, hingga praktik role-play (pembelajaran interaktif resolusi konflik).

Sasaran utama adalah pemuda usia 13–25 tahun, dan lulusan “madrasah” ini bisa menjadi duta perdamaian kampung yang berperan aktif dalam mencegah provokasi dan memediasi gesekan sosial.

Keempat, konseling keluarga dan rehabilitasi sosial. Banyak pelaku tawuran berasal dari keluarga dengan dinamika problematik. Diperlukan program konseling keluarga berbasis RW untuk mencegah regenerasi kekerasan.

Rehabilitasi juga mencakup pelatihan kerja dan rekonsiliasi sosial agar mantan pelaku tidak kembali ke lingkaran kekerasan, melainkan menjadi agen perubahan. Oleh karena itu, kolaborasi antara Puskesmas, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan lembaga konseling menjadi penting.

Program terakhir adalah memperbanyak ruang ekspresi naratif antargenerasi yang mempertemukan tokoh tua kampung, remaja, dan anak-anak untuk saling bertukar kisah tentang sejarah kampung, termasuk konflik dan rekonsiliasinya. Cerita-cerita ini bisa dikemas dalam film dokumenter atau media sosial, untuk membangun kesadaran kolektif.

“Kita perlu narasi kolektif baru bahwa tidak ada kampung yang sering tawuran, yang ada adalah kampung yang mampu berdamai dan bercerita,” pungkas Fahira Idris. (***)

× Image